Perguruan Silat Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih
Sejarah Perguruan
Masa Awal (1950-1952)
Persatuan
Gerak Badan Bangau Putih lahir dari kegemaran Suhu Subur Rahardja terhadap ilmu
beladiri. Beliau lahir dengan nama Liem Sin Tjoei pada tanggal 4 April 1925.
Ibunya bernama Tan Kim Nio dan ayahnya bernama Liem Kim Sek. Darah silat dan
pengobatan mengalir dari keluarganya.
Masa Kelahiran (25 Desember 1952)
Meningkatnya jumlah anggota yang berasal dari dalam dan luar
Bogor membuat kebutuhan mengelola kegiatan pelatihan mulai dirasakan. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut maka pada tanggal 25 Desember 1952, bertepatan
dengan malam bulan purnama, bertempat di Gg Angbun No. 79 RT II/RW VII, Lebak
Pasar Bogor, Lima Macan Pulo bersepakat mendirikan wadah dengan nama Persatuan
Gerak Badan dan Bangau Putih diambil sebagai simbol.
Sebagai pelatih ditunjuk Liem Sin Tjoei atau Subur Rahardja
sementara 4 (Empat) Macan Pulo lainnya bertindak sebagai pengawas. Untuk
mengisi posisi asisten pelatih maka Lima Macan Pulo membentuk Blok 18. Beberapa
anggotanya adalah Karta Lugina, Harja Lugina, Tan Khong Hoa, Oey Kiat Hoey, dan
Ouw Chun Liong.
Periode Perkembangan (1953-1965)
Perkembangan PGB sangat pesat, di mana pertumbuhan jumlah
anggotanya terus meningkat. Oleh karena itu, tempat berlatih para anggota
dipindahkan ke Gedung Dalam yang terletak di Jl. Perniagaan no. 62 (sekarang
bernama Jl. Suryakencana). Pada tahun 1953, lahirlah Kie Lin yang dibentuk dan
dicetuskan pertama kali di Bogor oleh PGB. Kie Lin merupakan salah satu seni
kebudayaan masyarakat etnis Tiong Hoa dan selalu mengikuti kegiatan perayaan
Cap Go Meh di kota Bogor.
Pada tahun 1954, PGB menjadi salah satu anggota PPSI
(Persatuan Pencak Silat Indonesia).
Pada tahun 1955, tidak hanya memperkenalkan diri kepada
masyarakat di Bogor, Kie Lin PGB pun mengikuti pertunjukkan di Semarang. Pada
tahun ini pula terbentuk grup latihan pertama di Tanah Tinggi III, Jakarta,
bertempat di rumah Tjong Sun yang disusul dengan semakin banyaknya grup-grup
latihan yang terbentuk pada tahun 1956; salah satunya bertempat di rumah Tjek
Bu Seng, seorang ahli pernafasan.
Selain aktif dalam kegiatan seni dan budaya, PGB juga aktif
dalam kegiatan sosial. Pada tahun 1960, PGB mendirikan BAKAM atau Badan
Koordinasi Keamanan dan Ketertiban dengan persetujuan Komando Militer kota
Bogor. Kegiatan dari BAKAM ini meliputi patroli keamanan dan pembaruan
penerangan jalan-jalan di Bogor.
Pada tahun 1962, PGB membuka tempat latihan di Gedung Dalam
(Bogor) atas bantuan dari Tan Hong Beng. Di Gedung Dalam ini juga didirikan
perpustakaan PGB atas ide dari Yo Yam Hok. Pada tahun ini, Kie Lin PGB tidak
lagi aktif karena kondisi politik yang tidak kondusif.
Tahun 1963, PGB berpartisipasi dalam operasi “Pagar Betis”
yang diprakarsai oleh Kodam VI Siliwangi dan dalam proyek pembangunan asrama di
Lawang Gintung untuk resimen Tjakrabirawa.
Masa perkembangan PGB yang sangat pesat ini terhenti setelah
kejadian G30 S/PKI dan tempat latihan di Gedung Dalam
ditutup serta disegel oleh pemerintah karena tempat latihan ini juga merupakan
kantor Baperki.
Masa-masa Sulit (1966-1968)
Sejak ditutupnya tempat latihan di Gedung Dalam, kegiatan
latihan silat PGB menjadi tidak jelas dan berpindah-pindah ke berbagai tempat.
Pada saat bersamaan, jumlah anggota pun berkurang. Akan tetapi, pada saat ini
juga “Sumpah Warga Persatuan” dibuat.
Pada tahun 1966, di mana keadaan PGB naik-turun,
terbentuklah cabang pertama di Bogor, yaitu Cabang Ardio. Sejak saat itu, PGB
dikenal sebagai PGB Bangau Putih.
Di awal tahun 1968, tempat latihan PGB Bangau Putih kembali
ke Lebak Pasar dan enam bulan kemudian pindah lagi ke Fond Miskin dengan Lie
Nie Kie sebagai murid satu-satunya. Ternyata, panggilan untuk melanjutkan
sekolah ke luar negeri membuat satu-satunya siswa yang tersisa ini juga ikut
meninggalkan Suhu dan latihannya. Rasa frustrasi yang Suhu alami pada masa ini,
mengantar beliau menenangkan diri di kuil Kwan Im, Sukamulya, Bogor,
sambil membersihkan dan menyucikan kuil. Faktanya, “untung dan malang siapa
tahu”, dalam masa pengucilan diri inilah justru Suhu mencapai tingkat
kematangannya.
Masa Kebangkitan (1969-1985)
Setelah jeda yang cukup panjang, pada tanggal 9 Juni 1969,
untuk pertama kalinya diadakan latihan lagi di pusat pelatihan Kebun Jukut no.
1. Standarisasi gerak dibuat waktu Perayaan Malam Bulan Purnama pada tahun ini.
Lima tim dibentuk di Kebun Jukut dengan anggota aktif yang semakin meningkat.
Pada tanggal 21 Agustus 1971, PGB diundang untuk
mendemonstrasikan gerakannya di Senayan, Jakarta. Kemudian, pada tanggal 21
Maret 1972, diresmikan 18 Pewaris Ban yang ditargetkan untuk menerima seluruh
ilmu silat Suhu selama 3 tahun dengan 1152 jam latihan. Pada tanggal 4 Desember
1972, Sunarti dari Bengkel Teater mengundang Suhu dan keluarga PGB untuk datang
ke Yogyakarta. Di markas Bengkel Teater ini, dilakukanlah demonstrasi gerak dan
di Pantai Parang Tritis diadakan “Lingkaran Doa” untuk meminta keselamatan
Rendra yang sedang berada di Australia. Selama kunjungan ini pula, Suhu bertemu
untuk pertama kalinya dengan Louise Ansberry, seorang warga Amerika.
Tanggal 1 Januari 1973, Rendra bersama anggota Bengkel
Teater balas mengunjungi Suhu. Dari sini mulai ada murid orang luar negeri yang
pertama, bernama Robin Clark. Pada tahun ini juga, Tante Kwan, pemilik rumah
Kebun Jukut meninggal dunia. Setelah kunjungan ini, dibentuk 41 Warga Perguruan
yang memiliki tugas untuk mengurus kepentingan perguruan.
Pada tahun 1975, Louise menikah dengan Suhu di Bali. Sejak
saat itu, dinamika PGB semakin hidup dan berkembang; baik dari segi
keanggotaan, keuangan, dan jaringan dengan tokoh-tokoh politik serta
intelektual. Cabang di Barkeley, Amerika, dan Jerman pun dibentuk.
Tahun 1976, PGB resmi menjadi anggota IPSI Bogor.
Pada perayaan Malam Bulan Purnama, tanggal 27 September
1977, dibacakan sebuah Mukadimah yang kemudian dinyatakan sebagai Mukadimah Guru
Besar untuk seluruh perguruan di mana pun berada. Mukadimah Guru Besar ini
menjadi visi dan dasar bagi warga PGB dalam seluruh kehidupannya.
Tahun 1978, dibentuk Pewaris (Sin Pay Touw Tee) huruf Goan.
Pada tahun 1982, atas usul Ali Moertopo (kala itu menjabat
sebagai menteri penerangan), PGB syuting demonstrasi gerak di TVRI.
Dua tahun setelahnya, pada tanggal 26-28 Mei 1984, di Bumi
Perkemahan Cibubur, Jakarta, diadakan sebuah acara akbar yang diprakarsai oleh
Suhu Subur dalam rangka mewujudkan tujuan PGB sebagai pemersatu pesilat. Acara
ini dinamakan Riungan para Pesilat dan dihadiri oleh sekitar 2500 pesilat. Pada
tahun yang sama, AD/ART PGB disempurnakan dan disahkan.
Kepergian Sang Suhu (31 Desember 1985)
Pada tanggal 1 Januari 1986, di Desa Sluke, Jawa Tengah,
kendaraan yang dinaiki oleh Suhu Subur mengalami kecelakaan. “Raja Kera
Melompat Tiga Kali”, begitu tulisan di kertas Ciam Sie no. 4 yang ditemukan di
kantung Suhu, seperti memberi “tanda” kepulangan beliau keharibaan Sang
Pencipta untuk selamanya. Jenazah beliau kemudian dibawa ke Bogor dan
disemayamkan di TC Kebun Jukut, tanggal 10 Januari 1986, dengan dihadiri oleh
ratusan murid, keluarga, teman, simpatisan, dan mereka yang menaruh hormat pada
almarhum. Jenazah almarhum dimakamkan di Padepokan PGB,Tugu, Cisarua.
Kelahiran Kedua (1986-1999)
Kepergian yang mendadak dari pendiri, Suhu, dan sekaligus
pimpinan tertinggi, membuat PGB Bangau Putih jatuh dalam duka. Eksistensi PGB
dan tongkat estafet kepemimpinan sejenak mengambang dalam ketidakjelasan. Di
antara semua keluarga, anggota, pewaris, dan warga persatuan, Gunawan Rahardja
(anak ke-6 dari almarhum Suhu) kemudian muncul sebagai jawaban. Sama seperti
usia Sang Ayah saat mendirikan PGB, Gunawan Rahardja mulai memimpin PGB
di usianya yang ke-27 tahun.
Empat
puluh hari setelah masa duka, Gunawan Rahardja, yang dipanggil Guru Muda oleh
W.S. Rendra, membentuk Majelis Tinggi Perguruan (MTP) yang terdiri atas para
sesepuh dan penasihat, sebagai organ tertinggi dalam PGB.
Masa-masa awal kelahiran pemimpin yang kedua ini sarat
dengan keraguan dan penolakan. Banyak anggota senior yang meninggalkan PGB.
Sang Guru Muda pun mengasingkan diri guna mempersiapkan dirinya dengan mengolah
keterampilan, ilmu, kepribadian, dan kesadaran. Berbekal motivasi dan
determinasi yang tinggi, secara otodidak beliau menempa diri sampai menemukan
inti dari keilmuannya. Latihan pernafasan beliau jalani pula pada tahun 1989.
Selain berlatih silat, beliau juga mengembangkan ilmu pengobatan.
Menilik perkembangan zaman, pada tahun 1991, orang-orang
baru ditempatkan dalam struktur keorganisasian untuk menggantikan orang-orang
yang tidak aktif sebelumnya. Cabang Jerman pun mulai menata diri dengan
membentuk Majelis Perwakilan Perguruan (MPP) yang diikuti oleh Perancis dan
Amerika. Standarisasi juga mulai diterapkan.
Hubungan antara cabang dengan pusat semakin diperkuat
melalui pertemuan para anggota dalam forum Retret Internasional yang dimulai
pertama kali pada tahun 1992 di Padepokan Tugu, Cisarua. Pada mulanya, retret
ini diperuntukkan bagi anggota Dewan Guru agar mereka dapat berkumpul dan
saling berdiskusi. Namun, dalam perkembangannya, retret ini lebih menyerupai
workshop dan diikuti oleh anggota-anggota lainnya juga.
Tahun 1993, Guru Gunawan mulai membuka praktik pengobatan
untuk umum di Kebun Jukut. Segera saja ratusan pasien mengantri setiap harinya
untuk berobat. Oleh beliau juga, pada tahun 2000, dikembangkan cabang keilmuan
yang menyatukan silat dengan kesehatan yang disebut sebagai Senam Kesehatan.
Pembuktian kemampuan dari Sang Pemimpin baru, tak ayal
membangkitkan rasa hormat dan penerimaan dari para senior. Pulangnya para
senior ke “Kandang Bangau”, yang juga dapat diartikan sebagai mulainya masa
penerimaan, membuat PGB kembali menggeliat dan bergairah.
Pada tahun 1994, mulai diterbitkan “Teropong”. Sebuah
newsletter berbahasa Indonesia sebagai wadah untuk bertukar informasi seputar
aktivitas PGB sekaligus media berbagi ilmu dari Guru Besar Gunawan serta
anggota lainnya. Website PGB pun dibuat untuk forum komunikasi dan informasi
serta disajikandalam dua bahasa; Inggris dan Indonesia. Pada tahun ini pula
diadakan Retret Internasional yang kedua di Santa Cruz, California. Untuk
selanjutnya, retret diadakan tiap dua tahun sekali; bergiliran antara Indonesia
dan cabang luar negeri.
Sarasehan anggota PGB yang berasal dari dalam negeri
diadakan di Padepokan Tugu, Cisarua, pada tahun 1995 dengan tujuan untuk
menggiatkan kembali perguruan.
Mulai tahun 1997, situasi ekonomi dan politik di Indonesia
mengalami krisis dan memuncak di tahun 1998. Guru Besar Gunawan dan PGB Bangau
Putih merespons situasi ini dengan berbagai aktivitas sosial (salah satunya dengan
menyediakan layanan untuk korban perkosaan Mei 1998) dan melalui
pemikiran-pemikiran. Tidak sedikit anggota PGB yang secara individual terlibat
dalam gerakan reformasi. Ternyata, reformasi juga terjadi dalam tubuh PGB di
mana kepengurusan organisasi diubah kembali. Kemudian, pada tahun 1998, mulai
dibuat kalender full color yang cantik berisi kegiatan-kegiatan PGB yang
sudah dan akan berlangsung serta kutipan-kutipan kata-kata bijak dari dua Guru
Besar.
Periode Hidup Kembali (1999-sekarang)
Latihan terus-menerus dan disiplin membuahkan hasil yang
baik. Dengan mengembangkan keilmuan PGB, yang menyeimbangkan silat dan
kesehatan, Guru Besar Gunawan mendorong murid-muridnya untuk menjadi mandiri
lewat pengembangan mind, body, dan spirit. Melalui latihan silat, diskusi, dan
aktivitas sosial, beliau mengajarkan filosofi kehidupan. Gelar Guru pun secara
resmi diberikan kepada beliau saat perayaan Malam Bulan Purnama tahun 1999.
Bahkan, saat itu mulai banyak yang memanggil beliau dengan sebutan suhu, ahli
silat dan pengobatan, serta guru spiritual. Namun, bukan hanya berbagai gelar
yang menjadi bukti keberhasilan tetapi juga komitmen dan keikhlasan seorang
Gunawan Rahardja sebagai “Guru” yang sudi membagi ilmunya-lah yang menjadikan
beliau sebagai “matahari” bagi lingkungannya.
Perubahan kepemimpinan Indonesia dan kebijakan di tingkat
nasional juga membawa angin segar bagi rakyat. Di bawah kepemimpinan Presiden
Gus Dur, budaya Cina kembali diakui dan boleh dipraktikkan. Sehingga, Barong
PGB pun mulai berkibar pada tahun 1999 ini.
Pada 11 Juli 2000, terjadi kunjungan persahabatan dan
pertukaran ilmu antara Kung Fu Shaolin dengan PGB Bangau Putih di Tugu,
Cisarua. Bahkan, PGB turut bergabung dengan pertunjukkan mereka di Jakarta
Convention Center.
Di antara kesibukan beliau dalam melayani masyarakat yang
membutuhkan bantuannya, Guru Besar Gunawan masih terus secara konsisten
mengembangkan keilmuan, melatih silat, dan mengembangkan keorganisasian. Para
pewaris Ban dan Goan serta 41 Warga Perguruan yang dahulu dibentuk oleh Suhu
Subur Rahardja dirasakan tidak lagi kontekstual dan cocok dengan sumpah mereka.
Maka, pada tahun 2000, semua itu dilebur oleh Guru Gunawan Rahardja dalam suatu
wadah yang dinamai Dewan Guru. Tugas Dewan Guru adalah memikirkan dan
mengembangkan keilmuan serta memecahkan apa yang telah diberikan oleh Suhu
Subur Rahardja untuk diserahkan kepada organisasi guna ditularkan pada generasi
sekarang.
Pada tahun 2000 ini pula, untuk pertama kalinya pertunjukkan
Kie Lin dimainkan kembali. Pada perayaan Cap Go Meh, jalan-jalan kota Bogor
dimeriahkan oleh Kie Lin yang hidup lagi setelah 38 tahun mati suri. Tak terasa
15 tahun sudah proses kepemimpinan dijalani oleh Guru Gunawan Rahardja. Pada
tahun 2001, pengakuan terhadap beliau sebagai Guru Besar dan Suhu betul-betul
terasa utuh.
Kematangan para anggota seiring dengan kematangan usia
Persatuan dan lima puluh tahun bukanlah suatu masa yang singkat. Sehingga, pada
usia PGB yang ke-50 diadakan suatu perayaan meriah guna membangun kebulatan
tekad untuk melanjutkan PGB. Tema yang diambil saat itu adalah: “Silat sebagai
Gerak Nasional”. Perayaan kebulatan tekad yang dilakukan di alam terbuka di
Kebun Raya Bogor tersebut dimeriahkan oleh demonstrasi gerak dan kehadiran para
anggota serta simpatisan.
Memulangkan ilmu kepada alam melewati masyarakat dan
kebudayaan diwujudkan dengan langkah-langkah kecil dan dimulai dari daerah
sekitar perguruan. Maka, pada bulan September 2002 dibentuklah Kaki Langit
dengan tujuan untuk pendidikan kepribadian bagi anak-anak sekitar Padepokan
Tugu melalui silat dan pendidikan informal lainnya (kerajinan tangan, komputer,
Bahasa Inggris, dll).
Silat Holiday Camp yang melibatkan peserta dari
kalangan anak-anak di sekitar Padepokan Tugu diadakan pada tahun 2006 di Tugu, Cisarua.
Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kedisiplinan pada diri anak-anak. Kegiatan
ini mendapatkan respons positif dari peserta, sehingga pada tahun 2011 diadakan
kembali acara serupa dengan nama Eco Camp. Materinya ditambah dengan
pengenalan terhadap alam.
Dalam rangka semakin mewujudkan visi PGB yang termaktub
dalam Mukadimah Guru Besar, terutama untuk memulangkan ilmu pada alam,
diadakanlah Maleber Environment and Art di perkebunan teh Maleber, Cipanas,
pada tanggal 4 Desember 2011. Acara ini diselenggarakan oleh PGB Bangau Putih
bekerjasama dengan Prekebunan Teh Maleber dan ISI Yogya.
Di tangan Guru Besar Gunawan Rahardja juga tercipta
nama-nama gerakan yang puitis dalam Bahasa Indonesia, serta gerak jalan panjang
terkait dengan 5 (lima) unsur yang bersifat Yin maupun Yang. Standarisasi gerak
juga makin disistematisasi begitu pula dengan tingkatan sabuk untuk semakin
menyemangati dan mematangkan para murid silat di berbagai tempat dalam bersilat
dan mengolah hidup. Harapannya adalah agar mereka tidak berhenti pada tingkat
tertentu saja. Selain itu, nama Senam Silat diganti menjadi Tao Kung yang
artinya gerak untuk keharmonisan dan keselarasan. Tao Kung bersifat preventif
walaupun ada banyak kasus kesehatan yang teratasi berkat latihan terus-menerus
dan niat positif dari yang bersangkutan. Dengan 9 paket yang masing-masing
terdiri atas 9 gerak dan 3 pernafasan, Tao Kung kini semakin banyak kelas
latihan dan anggotanya.
Denyut kehidupan PGB Bangau Putih terus berdetak. Dua puluh
tujuh tahun sudah Sang Guru Besar Gunawan Rahardja menjadi pimpinan, persis
saat PGB Bangau Putih menyelesaikan satu siklus pada usianya yang ke-60 tahun.
Sampai saat ini, grup latihan, cabang, dan magang telah tersebar bagai jamur di
musim hujan. Mulai dari Bogor, Jawa Barat, wilayah DKI Jakarta, Sumatera, Bali,
dan di berbagai belahan dunia seperti Amerika, Australia, Timur Tengah, dan
Eropa (Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Austria, serta Inggris).
(Sejarah singkat perguruan, dikutip dari Buku Perayaan 60
tahun Perguruan Silat Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih, April 2013*) |
(Copyright © 2015 PGB Bangau Putih)
Pendapat Pribadi Saya:
Saya Memilih Perguruan Silat ini untuk saya bagikan ceritanya karena yang pertama, Perguruan ini sungguh inspiratif dan mengingatkan saya dengan kisah master Yip dengan beladiri wingchun di china. Saya pikir Seni Bela diri silat ini sangat layak untuk dilestarikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Semoga banyak generasi muda yang tertarik dengan seni beladiri dalam negeri seperti ini.
Sumber:
Tugas PKN ini disusun oleh:
Nama: M. Putra Tama Bayu H.
NPM: 14418805
Kelas: 2IB02
Komentar
Posting Komentar